Rujak Tahu Majalengka, Simfoni Rasa yang Terpatri Sejak 1970-an

- 29 Januari 2025 11:06 92 Dilihat
Rujak Tahu Jl. KH Abdul Halim Kawasan Pasar Balong (Potret : Jilly Ortega/Pustakawarta.com)
Majalengka, Pustakawarta.com - Bagian timur Jawa Barat sekitar kawasan gunung ciremai, di mana angin sepoi tak henti membelai pepohonan dan langit senja berpendar keemasan, Majalengka menyimpan lebih dari sekadar pesona alam.
Kota ini adalah palet kenangan, tempat rasa-rasa tradisi berkelindan dalam setiap suapan. Tak hanya lanskapnya yang memesona, tetapi juga jejak rasa yang bertahan melintasi zaman.
Salah satu kisah kuliner yang telah terpatri sejak tahun 1970-an adalah Rujak Tahu, hidangan yang namanya mungkin menipu tetapi rasanya tak akan mengecewakan.
Bukan buah yang menjadi pemeran utama, melainkan potongan tahu berisi aci yang menyerap setiap tetes bumbu khas, menghadirkan simfoni rasa gurih, asam dan pedas yang menggoyang lidah.
"Disini jual rujak tahu, ada baso juga. Udah lama sejak tahun 70-an. Berarti dari almarhum bapak, terus berarti ke saya, jadi saya generasi kedua." ujar Oom Sri, penjaga warisan rasa yang kini telah sampai di tangannya.
Seperti aliran sungai yang membawa kisah dari hulu ke hilir, begitu pula perjalanan Rujak Tahu ini.
Hidangan ini tak lahir dari resep yang dicetak dalam buku, bukan pula inspirasi yang datang dari tutorial medsos, melainkan dari permintaan sederhana seorang pelanggan di sebuah warung kecil di kawasan Pasar Balong, Jalan KH. Abdul Halim.
Dari satu permintaan, menjelma menjadi kebiasaan. Dari kebiasaan, tumbuh menjadi ikon dan pelanggan yang mampu menghadirkan pundi pundi cuan.
"Pelanggannya minta pengen dibikin baso tapi enggak pakai kuah, awalnya gitu. Akhirnya, mintanya tahunya aja. Ya mungkin dia ngerasanya enak, jadi dia yang kasih nama, kasih namanya," Ujar Oom sri penuh kenangan.
Saat hujan turun, dan udara dingin merayap masuk ke pori-pori, semangkuk Rujak Tahu hadir bagai pelukan hangat.
Defri Ardiansyah, yang pertama kali mencicipinya, merasakan kehangatan yang menjalar dari lidah hingga ke dada.
Setiap suapan adalah percampuran sempurna antara pedas yang menggigit, asam yang membangunkan selera, dan gurih yang menenangkan. Seolah-olah, semangkuk kecil ini menyimpan seluruh kehangatan rumah di dalamnya.
"Pas saya coba, saya nikmati, ternyata enak. Diluar ekspektasi saya, ternyata emang enak. Saya kira ini baso biasa, ternyata rujak tahu ada basonya dan mantap. Jadi kaya baso tahu, bumbunya sama kaya baso tapi tidak pake kuah," ungkapnya pada Pustakawarta.
"Gurih, enak, pedes, terus tambah cuka sedikit jadi ada asam manisnya. Cocok banget kalau dimakan di musim hujan, apalagi kaum muda ternyata sudah melegenda juga," tambahnya, sementara keringat perlahan mengalir di pelipisnya dengan napas yang berembus membawa jejak pedas yang masih tertinggal di lidah.
Namun, keistimewaan rasa tak selalu harus mahal. Dengan hanya 12 ribu rupiah per porsi, siapa pun bisa menikmati kelezatan yang telah teruji waktu ini.
Tak perlu promosi besar-besaran, tak perlu baliho berpendar di pinggir jalan. Dari satu cerita ke cerita lainnya, dari satu lidah ke lidah berikutnya, Rujak Tahu terus bertahan sebagai warisan rasa yang tak hanya melekat di indera, tetapi juga di hati.
"Pelanggan dari kalangan orang tua ada, kebanyakannya anak muda. Tapi biasanya keluarga yang awalnya ibu bapaknya pernah beli, terus ke anaknya, terus ke cucunya, gitu biasanya. Terus ada pelanggan dari Cirebon." Jelas Oom Sri, penuh kebanggaan seolah setiap kata yang terucap adalah doa agar warisan ini tak lekang oleh zaman.
"Sehari kejual sekitar 100 porsi. Buka Tiap hari jam 4 sore sampe 9 malem" Tutupnya.(*)
Bagikan Berita
Untuk Menambahkan Ulasan Berita, Anda Harus Login Terlebih Dahulu